Masih Adakah Ruang Untuk Kritik Sastra

Bagaimana kritik sastra berkembang di era media sosial? Bagaimana audiens meresponsnya, dan apakah kritik sastra masih relevan di zaman sekarang? Mari kita bahas!

Saya yakin, di masa lalu kritik sastra adalah dunia yang serius. Ia hidup di jurnal akademik, dibicarakan oleh intelektual, dan menjadi patokan kualitas sebuah karya. Tapi di era digital ini, dengan media sosial yang penuh ulasan singkat, tren booktok, dan opini cepat saji, kritik sastra seakan kehilangan bentuknya.

Pertanyaannya: masihkah kritik sastra punya tempat di zaman sekarang?

Dulu: Kritik Sastra Sebagai Pilar Intelektual.

Dahulu, kritik sastra bukan sekadar soal “suka” atau “tidak suka” pada sebuah karya. Ia menjadi jembatan antara pembaca dan makna yang lebih dalam. Kritikus seperti Roland Barthes atau Terry Eagleton menggali teks, menelusuri simbolisme, ideologi, dan pengaruh budaya dalam sebuah karya.Kritik juga menjadi barometer kualitas. Mau membaca sastra yang bermutu? Lihat apa kata para kritikus. Tapi sekarang, zaman sudah berubah.

Sekarang: Ulasan Cepat, Viral, dan Tren Media Sosial.

Di era digital, siapa pun bisa mengulas buku. Tinggal tulis thread Twitter, buat video pendek di TikTok, atau beri bintang di Goodreads. Jika kita berselancar lebih jauh di internet, ulasan buku bukan lagi hal langka, ini bisa dilakukan oleh siapa saja.

Kritik sastra tidak lagi terbatas pada akademisi atau media tertentu. Ini tentu hal baik, literasi menjadi lebih demokratis. Tapi ada masalah besar: banyak kritik yang hanya bersifat superficial.

Viralitas vs. Kualitas

Banyak buku populer karena tren, bukan karena mutu sastra. Sebuah buku bisa laku hanya karena booktok mengatakan “bikin nangis!”. Padahal, apakah buku itu benar-benar bagus dari segi struktur, narasi, dan makna?

Opini vs. Analisis

Kritik sastra dulu berbasis teori, sekarang sering berbasis perasaan. Banyak orang menilai buku hanya berdasarkan apakah mereka “relate” atau tidak, tanpa melihat aspek sastra yang lebih dalam.

Cepat vs. Mendalam

Kritik akademik butuh waktu untuk membaca, memahami, dan menganalisis. Sementara di era digital, semuanya harus serba cepat. Kita sudah terbiasa menikmati informasi singkat di media sosial. Review pendek 280 karakter lebih diminati daripada esai panjang. Masihkah Kritik Sastra Dibutuhkan?Jawabannya: iya, tapi harus beradaptasi.

Kritik sastra tetap penting untuk menjaga kualitas literasi. Ia membantu kita memahami karya dengan lebih dalam, melihat perspektif baru, dan melawan budaya “baca cepat, lupa cepat”.

Tapi kritik sastra juga harus menyesuaikan diri dengan zaman. Bagaimana caranya? Gunakan Platform Digital. Kritik sastra tidak harus selalu berupa esai panjang. Bisa dalam bentuk thread, video edukatif, atau infografis yang menarik di Instagram. Gabungkan Akademik dengan Populer. Kritik tidak harus berat dan membosankan. Bisa tetap berbobot tetapi dikemas dengan cara yang lebih ringan dan menarik, seperti menggunakan referensi budaya pop. Dorong Diskusi, Bukan Hanya Review. Jangan hanya memberi nilai “bintang 5 atau 1”, tapi ajak audiens untuk berpikir. Mengapa buku ini bagus? Apa kelebihan dan kekurangannya? Apa pesan yang bisa kita ambil?Kritik sastra memang harus beradaptasi, tapi bukan berarti harus hilang. Di era digital, justru semakin banyak kesempatan untuk membawa kritik sastra ke audiens yang lebih luas.

Jadi, apakah kritik sastra masih punya tempat? Jawabannya ada di tangan kita. Apakah kita masih ingin membaca lebih dari sekadar review singkat? Apakah kita masih mau berpikir lebih dalam soal makna sebuah karya? Jika iya, maka kritik sastra tidak akan pernah benar-benar mati.