Selayang pandang ekor mata tertuju pada etalase kayu milik perpustakaan yang sarat buku-buku biografi, sejarah, kamus, dan sejenisnya. Nomor 800-900 an tempatnya, semoga saya tidak salah. Buku yang entah dianggap langka atau terlalu bagus untuk dibolehkan pinjam, nampak diasingkan karena novel romansa dan komik lebih digemari, namun diam-diam menyimpan pemikiran yang hampir tak saya jamahi.
Setelah muak menahan kedipan mata ketika membaca tulisan Cindy Adams tentang Bung Karno, akhirnya saya tumbang dan memilih mencari-cari buku selanjutnya untuk dijelajahi. Baru saja menepikan buku bersampul warna merah, tangan ini justru merapatkan kembali buku bersampul warna merah, namun prihal isi mereka jauh berbeda.
Pertama saya menerka-nerka genre buku ini horor atau jagal, naas ternyata lebih menyeramkan. Tidak menghiraukan aksi brutal dalam tulisannya, namun keberanian tulisannya. Buku ini sempat saya cap sebagai buku ekstrem (sedikit hiperbola saat itu), meski tak selamanya saya berpikir demikian.
Awal-awal ketika lembar demi lembaran terbuka, saya bertemu seorang psikolog perempuan, namanya Nawal El Sa’adawi. Ia sering datang ke penjara meneliti banyak tahanan perempuan. Beberapa tahanan dihukum puluhan tahun, penjara seumur hidup, sampai hukuman mati. Ia datang, berkeliling lapas sampai akhirnya bertemu pasang mata yang tak biasa, menggugah dan rasa-rasanya menjatuhkan harga dirinya saat itu. Tak ada sepatah kata maupun hinaan, hanya sorot mata dalam belenggu dendam.
Firdaus, seorang tahanan perempuan yang mendapat hukuman mati sebab…. Psikolog itu juga ingin tau, ia datang menawarkan bantuan namun dipandang sedetik pun tidak. Beberapa kali ia mencoba, hingga akhirnya satpam penjaga lapas berteriak bahwa Firdaus ingin bertemu dirinya. Melalui kaca sepion mobil miliknya ia melihat dan bergegas putar balik.
Kemudian saya dibawa kedalam jeruji Firdaus, dan melihat psikolog profesional dengan pengalaman menangani ratusan pasien mendadak merinding dan sedikit bungkuk dihadapannya. Nawal El Sa’adawi melihat perempuan yang ada dihadapannya seolah penuh luka dan kekuatan. Firdaus seorang pelacur yang hidupnya tergerus budaya patriarki sejak kecil. Ayahnya, temannya, pamannya, hingga suaminya menjadikannya alat untuk memuaskan hasrat seksual dan menyalurkan amarah. Firdaus kabur, hidup pontang-panting membawa ijazah SMP berharap mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun manusia-manusia di jalanan yang ia temui kembali menindas nya, meskipun pada awal berjumpa nampak mengulurkan bantuan.
Hingga Firdaus bertemu seorang perempuan, namanya Sharifa. Ia mengetuk gerbang setan kemudian masuk ke dunia pelacuran, namun tak mendapatkan bayaran sepeserpun. Hanya dikurung macam burung dalam sangkar. Pemandangannya adalah kasur dan gemerlap lampu kota dari jendela. Hingga tepat ketika ia beradu mulut dengan seorang germo, pisau menancap di perut dan leher si germo. Firdaus membunuhnya, dan meninggalkan tempat kejadian. Dan berakhir dipenjara ini, dengan hukuman gantung.
Kemudian saya dibawa kedalam sebuah pernyataan, bahwa Firdaus sebenarnya bisa bebas dari hukuman dengan meminta pengampunan. Tapi bagi Firdaus, kematian adalah kebebasan. Firdaus berdiri bersama prinsipnya dan siap menerima kematian. Hal yang tidak mudah.
Lembar demi lembaran habis dan saya tutup buku ini. Sekelebat bayangan Firdaus muncul di otak saya. Orang-orang akan selalu menyingkirkan perempuan seperti Firdaus, karena mengkhawatirkan dan mengancam kedok hidup mereka. Jika Firdaus bebas, ia akan lebih banyak membunuh sampai akhirnya mereka yang serupa ikut terbunuh.
Tarikan nafas panjang berkali-kali saya hembuskan kala itu, sebab menjadi kali pertama saya membaca buku seperti ini. Penyajian cerita dengan tulisannya yang kuat, keras, dan brutal, menjadi terasa sedikit radikal dibeberapa bagian. Tidak kapok, namun penasaran dan ingin lagi, sampai jatuh cintalah saya pada buku-buku dengan tema serupa. Bisa dibilang, buku ini adalah jembatan pertama saya untuk keluar dari tema kesukaan yang itu-itu saja.
Perempuan di Titik Nol, berat bagi mereka yang kurang familiar dengan isu feminisme dan ketidakadilan gender. Namun jadi penting ketika ingin memahami perjuangan perempuan melawan sistem yang menindas. Bukan sekedar fiksi, namun cerminan realitas yang terjadi.